Sunday, March 1, 2015

TEORI SOSIOLOGI KLASIK " Durkeim"



                                       
                                            
                                      TEORI SOSIOLOGI KLASIK


      Dosen : Drs. Th. A. Gutama, M.Si.
http://ipunghananto.files.wordpress.com/2012/02/uns_logo.jpg
Disusun Oleh :
Widia Lestari
D0313080

SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
Emile Durkheim
https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQ-4y4CbJzri14O300U2P-R3a9QEhWVG2TLvI81hBoFyLWfMv_A
Topic :
                        1
Biografi Emile Durkheim
                                                2
                         Kenyataan Fakta Sosial
                                                                        3
                                                            Pembagian Kerja
                                                                                                4
                                                             Klasifikasi Tindakan Bunuh Diri sebagai Fakta Sosial


                                                                                              Skema Pembahasan
Riwayat Hidup Durkheim

            Durkheim, dilahirkan pada tahun 1858 di kota Epinal dekat Strasbourg, daerah Timur Laut Perancis. Ayahnya seorang pendeta Yahudi. Durkheim, perkembangan pemikirannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan di luar keluarganya, meskipun ayahnya seorang pendeta Yahudi. Mungkin pengaruh inilah yang menambah keterikatannya terhadap masalah agama, walaupun para seniornya menginginkan ia menjadi seorang penganut katolik yang taat. Mengapa, sebab sejak muda Durkheim telah menyatakan dirinya sebagai seorang agnostik. Tentu, Sikap ini bersimpangan dan kontras dengan ayahnya dan apa yang telah dipelajari dari guru- guru Katoliknya sejak muda. Pada akhirnya, Durkheim, di dikenal sebagai “seorang atheis” yang kuat dan selalu bersifat agnostic , iaitu “tidak pernah mempersoalkan kebenaran keyakinan masyarakat yang sedang ditelitinya” (Hujair sanaky. 2005). Ketajaman pemikirannya kadang-kadang dianggap aneh oleh lingkungan kampus, ia dianggap gila oleh mahasiswanya karna berkontemplasi atau dianggap “nyeleneh” dalam proses pengajaran. Pada usia 21 tahun, jalur pendidikan Durkheim di sekolah Ecole Normale Superieure di Paris dan mengambil studi sejarah dan falsafah.
Pada awalnya, Durkheim tidak suka dengan suasana pendidikan yang kaku. Keadaan seperti ini selalu membuat suasana tidak menyenangkan. Durkheim, setelah menyelesaikan studinya, mengajar falsafah di beberapa sekolah yang ada di Paris. Pada tahun 1885-1886, Durkheim, migrasi ke Jerman untuk mempelajari psikologi kepada Wilhelm Wundt. Pada tahun 1887, Durkheim diangkat sebagai Profesor Sosiologi di Universitas Bordeaux yang tentu memberinya posisi baru bagi ilmuan sosial terutama dalam penelitian sosialnya. Kemudian, Durkheim menetap di Jeman sampai tahun 1902 dan selama lima belas tahun di Bordeaux, Durkheim telah menghasilkan tiga karya besar yang diterbitkan dalam bentuk buku, yaitu: The Division of Labor in Society (1893), The Rulesof Sociological Method (1895) dan  Suicide: a Study inSosiology (1897). Pada saat yang sama pula, Durkheim dan beberapa sarjana lainnya bergabung untuk menerbitkan L’Annee Sociologique, iaitu sebuah jurnal memuat artikel-artikel sosial yang kemudian terkenal di seluruh dunia (Peter, 2003).
            Ia diangkat Profesor Sosiologi dan Pendidikan di Universitas Sorbonne, Paris pada tahun 1902. Perhatian dan minat Durkheim terhadap agama terhadap kehidupan sosial dalam membentuk moralitas, diwujudkan dalam sebuah karyanya yang bertajuk  Les Formes elementaires de lavie relegieuse : Le systeme totemique en Australie  (1912). Buku ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Joseph Ward Swain menjadi The Elementary Forms of the Religious Life (1915) dasar yang membentuk semua agama. Kemudian kesehatannya mulai menurun pada tahun 1916, karna anak satu-satunya terbunuh dalam kampanye militer di Siberia, sehingga membuatnya terserang penyakit stroke dan dalam usia 59 tahun tepatnya pada tahun
1917, Durkheim meninggal dunia. Pengaruh-pengaruh penting terhadap intelektual Durkheim datang dari tradisi-tradisi intelektual yang jelas mengandung unsur-unsur Perancis. Tafsiran-tafsiran yang saling mengisi dari Sanit Simon dan Comte mengenai kemunduran feodalisme dan munculnya bentuk masyarakat modern merupakan landasan utama semua karya Durkheim, sehingga memang sesuai, bila dikatakan bahwa tema utama karya Durkheim semasa hidup berkaitan dengan usaha mendamaikan konsep Comte mengenai tahapan ‘positif’ dari masyarakat dengan peragaan Saint Simon yang sebagian beraneka ragam tentang ciri-ciri khas dari ‘individualisme’ (Anthony Giddens. 1986).
Sejal awal karir mengajar, Durkheim bertekad untuk menekankan pengajaran praktis ilmiah serta moral daripada pendekatan falsafah tradisional yang menurut dia tidak relevan dengan masalah sosial dan moral yang terjadi di dunia ini. Walaupun yakin akan nilai sosiolog
dalam membahas masalah-masalah moral dan sosial, sebagai seorang sarjana, Durkheim sangat kuat komitmennya untuk mengambil sikap obyektif dalam analisanya yang sangat teguh atas bersandarkan fakta. Durkheim seringkali dianggap sebagai seorang ahli politik yang konservatif dan pengaruh beliau dalam Sosiologi juga dianggap konservatif. Ianya karena beliau jarang melibatkan diri dalam politik secara langsung. Pada masa hidup beliau, dianggap sebagai seorang liberal dan terlibat secara aktif terutama dalam usaha untuk membantu Alfred Dreyfus yang merupakan seorang kapten tentara yang telah dihukum karena dituduh membelot. Menurut Farrel (1997) dalam Ritzer dan Goodman (2003) pada masa itu, ramai yang menganggap kasus tersebut sebagai anti-Semitic. Durkheim merasa sangat kecewa dengan kasus Dreyfus terutamanya  anti-Semitism  tetapi beliau tidak menanggapnya sebagai satu isu rasisme tetapi beliau melihat peristiwa tersebut sebagai satu simptom penyakit (patalogi) moral masyarakat Perancis secara umumnya.[1]
Emile Durkheim: Mendirikan Sosiologi sebagai suatu Ilmu tentang Integrasi Sosial
1.  Fakta sosial
        Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekatan Durkheim terhadap sosiologi adalah bahwa fakta sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari perilaku psikologis, biologis, atau karakteristik individu lain-lainnya. Karena gejala sosial adalah faktayang riil, gejala-gejala itu dapat dengan metoda-metoda empiric , yang memungkinkan satu ilmu sejati tentang masyarakat dapat dikembangkan. Asumsi ini dijelaskan bahwa sosiologi suatu ilmu yang jelas disaat sekarang. Namun pada masa Durkeim belum ada bidang atau metodologi dalam sosiologi yang mantap.
        Tekanan Durkheim pada kenyataan gejala sosial yang objektif itu bertentangan tidak hanya dengan individualism yang berlebih-lebihan tetapi dengan mengunakan ahli teori yang pendekatannya terlampau spekulatif dan filosofis. Mungkin salah satu kecaman-kecaman terhadap pendekatan ilmiah objektif sudah menjadi sedemikian menariknya adalah bahwa pendekatan ini kelihatannya mengandung satu posisi determistik yang membatasi kebebasan individu dalam mengadakan pilihan-pilihan. [2]
                    Fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual [3]
                  Hal itu menunjukkan bahwa Durkheim memberikan definisi agar sosiologi terpisah dari ilmu filsafat dan psikologi. Durkheim berpendapat bahwa fakta sosial tidak bisa direduksi kepada individu, namun mesti di pelajari sebagai realitas mereka. Durkheim menyebut fakta sosial dengan  istilah latin sui generis, yang berarti “unik”. Durkheim menggunakan istilah ini untuk menjelaskan bahwa fakta sosial memiliki karakter unik yang tidak bisa direduksi menjadi sebatas kesadaran individual. Jika fakta sosial dianggap bisa dijelaskan dengan merujuk pada individu, maka sosiologi akan tereduksi menjadi psikologi.
                    Durkheim sendiri memberikan beberapa contoh tentang fakta sosial , termasuk aturan legal, beban moral, dan kesepakatan sosial. Dia juga memasukan bahasa sebagai fakta sosial, dan menjadikannya contoh yang paling mudah dipahami. Pertama karenakan bahasa adalah “sesuatu” yang mesti dipelajari secara empiris. Kedua bahasa adalah sesuatu yang berada di luar individu. Meskipun individu menggunakan bahasa, namun bahasa tidak dapat didefinisikan atau diciptakan oleh individu. Ketiga, bahasa memaksa individu. Bahasa dapat membuat sesuatu itu sulit dikatakan. Terakhir, perubahan dalam bahasa dapat dipelajari dengan fakta sosial lain dan tidak bisa hanya keinginan individu saja.
                   Sebagian sosiolog berpendapat bahwa Durhkeim terlalu mengambil posisi yang ekstrem dalam hal ini. sebab ia terlalu membatasi sosiologi hanya pada fakta sosial saja. Padahal ada banyak cabang-cabang dalam sosiologi.
a.      Fakta Sosial Material dan Nonmaterial
                   Durkheim membedakan dua tipe ranah fakta sosial material dan non material. Fakta sosial material seperti gaya arsitektur bentuk teknologi, dan hukum dan perundang-undangan, relatif mudah dipahami karena keduanya bisa diamati secara langsung. Lebih penting lagi, fakta sosial material tersebut sering kali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuat yang sama-sama berrada diluar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta sosial nin material.
                        Studi Durkheim yang paling penting dan inti dari sosiologi terletak pada studi fakta sosial nonmaterial. Durkheim mengungkapkan : “tidak semua kesadaran sosial mencapai ... eksternalisasi dan materialisasi” (1897/1951: 315). Apa yang saat ini disebut norma dan nilai, atau budaya oleh sosiolog secara umum (Alexander, 1988c) adalah contoh yang tepat untuk apa yang disebut Durkheim dengan fakta sosial nonmaterial. Durkheim mengakui bahwa fakta sosial nn material memiliki batasan tertentu, ia ada dalam individu. Akan tetapi dia yakin bahwa ketika orang memulai berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi hukumnya sendiri Dalam karya yang sama durkheim menulis: pertama, bahwa “hal-hal yang bersifat sosial hanya bisa teraktualisasi melalui manusia; mereka adalah produk aktivitas manusia” dan kedua Masyarakat bukan hanya semata-mata kumpulan sejumlah individu.masyarakat akan hanya bisa dipahami dengan interaksi bukan individu. Interaksi nonmaterial juga memiliki tingkatan-tingkatan realitasnya sendiri. Inilah yang disebut “realisme relasional” (Alpert, 1939).
                        Durkheim melihat fakta sosial berada di sepanjang kontinum hal-hal yang material. Durkheim menyebut ini dengan fakta morfologis, dan semua itu termasuk hal yang paling penting dalam buku pertamanya, The Division of Labor.
Jenis-jenis Fakta Sosial Nonmaterial 
a.       Moralitas.
           Persperktif durkheim mengenai moralitas: pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas bisa dipelajari secara empiris, karena ia berada diluar individu, ia memaksa individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain. Kedua, Durkheim dianggap sebagai sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya pada kesehatan moral kesehatan moral masyarakat modern.
           Dalam pandangan Durkheim, orang selalu terancam kehilangan ikatan moral, dan hal ini dinamakan “patologi”. hal tersebut penting bagi Durkheim karena tanpa itu individu akan diperbudak oleh nafsu yang tidak pernah puas. Seseorang akan didorong oleh nafsu mereka ke dalam kegilaan untuk mencari kepuasan namun setiap kepuasan akan menuntut lebih dan lebih. Jika masyarakat tidak membatasi kita maka kita akan menjadi budak kesenagan yang selalu meminta lebih. Sehingga Durkheim memegang pandangan bahwa individu membutuhkan moralitas dan kontrol dari luar untuk bebas. Pandangan hasrat yang tidak pernah puas ini ada pada setiap manusia adalah inti dari sosiologi Durkheim.
b.      Kesadaran kolektif.  
           Durkheim mencoba mewujudkan perhatiannya pada moralitas dengan berbagai macam cara dan konsep. Usaha awalnya untuk menaangani persoalan ini adalah dengan mengembangkan ide tentang kesadaran kolektif. Durkheim mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut: seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri, kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran partikular.
           Dari hal itu jelas bahwa Durkheim berpendapat kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut “keseluruhan” kepercayaan dan sentimen bersama. Hal yang lain bahwa kesadaran kolektif sebagai sesuatu yang terlepas dari dan mampu menciptakan fakta sosial. Hal terakhir dari pendapatnya bahwa kesadaran kolektif baru bisa “terwujud’ melalui kesadaran-kesadaran indivisual.
           Duekheim menggunakan konsep yang sangat terbuka dan tidak tetap untuk menyatakan bahwa masyarakat “primitif” memiliki kesadaran kolektif yang kuat yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama lebih daripada masyarakat modern.
c.       Representasi Kolektif
           Kesadaran kolektif tak dapat dipelajari secara langsung karena sesuatu yang luas dan gagasan yang tidak memiliki bentuk yang tetap. Sehingga perlu didekati dengan relasi fakta sosial material. Contoh dari representasi kolektif ialah simbol agama, mitos, dan legenda populer. Semua yang tersebut itu adalah cara-cara dimana masyarakat merefleksikan dirinya.
           Representasi kolektif tidak dapat direduksi kepada individu-individu karena ia muncul dari interaksi sosial dan hanya dapat dipelajari secara langsung karena cenderung berhubungan dengan simbol material seperti isyarat, ikon, dan gambar atau praktek seperti ritual.
Contoh dari representasi ialah mengenai perubahan yang dialami Abraham Lincoln dalam menanggapi fakta-fakta sosial lain. Ia mengalami kejayaan yang memuncak dan ditahun lain ia memperlihatkan kemerosotan martabatnya.
d.      Arus sosial
Sebagian besar fakta sosial yang dirujuk emile Drukheim sering diasosiasikan dengan organisasi sosial. Namun dia menjelaskan bahwa fakta sosial tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas”. Durkheim menyebutnya arus sosial. Dia mencontohkan dengan “luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan”. Fakta-fakta sosial nonmaterial bahkan bisa memengaruhi institusi yang paling kuat sekalipun. Hal ini dicontohkan pada konser rock yang terjadi di Erropa timur. Konser rock merupakan tempat muncul dan berseminya standar buadaya, fashion. Dan gejala perilaku yang lepas kntrol partai. Dengan kata lain kepemimpinan politik takut pada konser rock karena berpotensi menekan perasaa  individu dari alienasi menjadi motivasi keterasingan sebagai fakta sosial.
e.       Pikiran kelompok
           Arus sosial dapat dilihat sebagai serangkaian makna yang disepakati dan dimiliki bersama oleh seluruh anggota kelompok. Karena itu arus sosial tidak bisa dijelaskan berdasarkan suatu pikiran individual. Arus sosial juga tidak bisa dijelaskan secara intersubjektif yaitu berdasarkan interaksi antar individu. Arus sosial hanya akan tampak pada level interaksi bukan individu.
           Kenyataannya ada kesamaan yang kuat antara teori fakta sosial  dari Durkheim dengan teori mutakhir tentang hubungan otak dengan pikiran individu. Keduanya sama-sama menggunakan gagasan bahwa sistem yang kompleks akan terus berubahdan menunjukkan ciri-ciri baru.
Durkheim juga memiliki pemahaman modern tentang fakta sosial nonmaterial yang mengandung norma, nilai, budaya, dan berbagai fenomena psikologis sosial bersama.
2.   Pembagian Kerja
              Dari semua fakta sosial yang ditunjuk dan diduskusikan oleh Durkheim, tak satu yang sedemikian sentralnya seperti konsep solidaritas sosial. Dalam satu atau lain bentuk, solidaritas sosial membawai semua karya utamanya. Istilah-istilah yang berhubungan erat dengan itu misalnya integrasi sosial dan kekompakan sosial. Singkatnya, solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan ini lebiih mendasar dari hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional, karena hubungan-hubungan serupa itu mengandaikan sekurang-kurangnya satu tingkat terhadap prinsip moral yang menjadi dasar kontrak itu. Pokok ini sering dikemukakan oleh Durkheim dalam serangannya yang terus-menerus terhadap Spenser, Rousseau, dan lain-lain dan berusaha menjelaskan asal mula keadaan menurut persetujuan kontraktual yang dirembuk individu dengan kepentingan pribadi mereka selanjutnya.
1.      Solidaritas Mekanis
                  Memudarnya Solidaritas Mekanis Durkheim menggunakan istilah solidaritas mekanis untuk menganalisa masyarakat keseluruhannya. Solidaritas mekanis lebih menekankan pada sesuatu kesadaran kolektif bersama (collective consciousness),yang menyandarkan pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama. Solidaritas mekanis merupakan sesuatu yang bergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola norma yang sama pula. Oleh karena itu sifat individualitas tidak berkembang, individual ini terus- menerus akan dilumpuhkan oleh tekanan yang besar sekali untuk konformitas. Individu tersebut tidak harus mengalami atau menjalani satu tekanan yang melumpuhkan, karena kesadaran akan persoalan hal yang lain mungkin juga tidak berkembang. Inilah yang menjadiakar memudarnya atau deintegrasi nilai pada solidaritas mekanis.
                  Pertama, perlu diketahui bahwa nilai barang bersifat ekonomis semakin lama nilainya akan menyusut. Kedua, kesadaran kolektif sebenarnya tidak stagnan atau tetap, melainkan bergerak liar dalam setiap tindakan masyarakat. Kemudian indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanis adalah ruang lingkup dan kerasnya nilai-nilai yang bersifat menekan (Durkheim. 1964) (represif). Nilai-nilai ini men-justifikasi setiap prilaku sebagai sesuatu yang jahat, mengancam atau melanggar kesadaran kolektif yang kuat tersebut. Hukuman pada pelaku kejahatan memperlihatkan pelanggaran moral dari kelompok tersebut melawan ancaman atau penyimpangan yang demikian tersebut, karena mereka dipandang sudah merusakkan keteraturan sosial. Hukuman tidak harus mencerminkan pertimbangan rasional yang mendalam mengenai jumlah kerugian secara objektif yang memojokkan masyarakat itu, juga tidak merupakan pertimbangan yang diberikan untuk menyesuaikan hukuman itu dengan kejahatannya, sebaliknya ganjaran itu menggambarkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul. Sebenarnya tidak terlalu banyak sifat orang yang menyimpang atau tindakan kejahatannya seperti oleh penolakan terhadap kesadaran kolektif yang diperlihatkannya, tetapi perlu diketahui suatu sifat kejahatan muncul dari umpan balik nilai-nilai masyarakat. Yang penting dari solidaritas mekanis adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen dan sebagainya. Homogenitas ini hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat minim (Doyle Paul Johnson.1986).

2.      Solidaritas Organis

Berlawanan dengan solidaritas mekanis, solidaritas organis muncul karena pembagian kerja yang bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga menggalakkan bertambahnya perbedaan pada kalangan individu. Munculnya perbedaan-perbedaan pada kalangan individu ini merombak kesadaran kolektif itu, yang pada gilirannya menjadi kurang penting lagi sebagai dasar untuk keteraturan sosial dibandingkan dengan saling ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-individu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya. Seperti yang dinyatakan Durkheim bahwa “itulah pembagian kerja yang terus saja mengambil peran yang tadinya diisi oleh kesadaran kolektif”.
Durkheim mempertahankan bahwa kuatnya solidaritas organis itu ditandai oleh pentingnya undang-undang yang bersifat memperbaiki, menyehatkan maupun yang bersifat memulihkan (restitutif) daripada yang bersifat represif. Tujuan dari kedua bentuk undang-undang tersebut sangat berbeda. Undang-undang represif lebih mengungkapkan kemarahan kolektif yang dirasakan kuat sedangkan undang-undang restitutif berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu yang berspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Oleh karena itu, sifat ganjaran-ganjaran yang diberikan kepada seseorang pelaku kejahatan berbeda dalam kedua undang-undang itu. Mengenai tipe sanksi yang bersifat restitutif Durkheim mengatakan “bukan bersifat balas dendam, melainkan hanya sekedar menyehatkan keadaan”. Terlaksananya undang-undang represif sebenarnya bukan memperkuat keadaan karena sudah adanya investasi nilai tetapi represif sedikit demi sedikit akan menuju kepada undang-undang restitutif.
Dalam sistem organis, kemarahan kolektif yang timbul karena prilaku menyimpang menjadi kecil kemungkinannya, karena kesadaran kolektif itu tidak begitu kuat. Sebagai hasilnya, hukuman lebih bersifat rasional, disesuaikan dengan rusaknya pelanggaran dan bermaksud untuk memulihkan atau melindungi hak-hak dari pihak yang dirugikan atau menjamin bertahannya kaedah ketergantungan yang kompleks tersebut dari solidaritas sosial. Pola restitutif ini jelas terlihat dalam undang-undang kepemilikan, undang-undang sewa, undang-undang perdagangan, peraturan dan procedural administrasinya.




Solidaritas Mekanik
                 Solidaritas organik
1.      Pembagian kerja rendah
2.      Kesadaran kolektif kuat
3.      Hukum represif dominan
4.      Individualitas rendah
5.      Consensus terhadap pola-pola normatif itu penting
6.      Keterlibatan komunitas menghukum orang yang menyimpang
7.      Secara relative saling ketergantungan itu rendah
8.      Bersifat primitive atau perdesaan
1.      Pembagian kerja tinggi
2.      Kesadaran kolektif lemah
3.      Hukum restitutif dominan
4.      Individualias tinggi
5.      Consensus pada nilai abstrak dan umum itu penting
6.      Badan-badan control sosial yang menghukum orang yang menyimpang
7.      Saling ketergantungan tinggi
8.      Bersifat industrial perkotaan

Sumber : Doyle paul J, 1981: 188

3.   Klasifikasi Tindakan Bunuh Diri sebagai Fakta Sosial
http://media-cache-ec0.pinimg.com/236x/f3/21/91/f321913edc05b0868c065d21755cc26e.jpg
Sumber : https://www.google.com/search?q=foto+emile+durkheim&client
Menurut Emile Durkheim, bunuh diri adalah fenomena sosial. Penyebab utama bunuh diri ini adalah faktor sosial yaitu karena runtuhnya hubungan sosial atau kebalikannya, keterikatan yang kuat dari hubungan sosial. Hubungan sosial ini seringkali disebut dengan integrasi manusia terhadap lingkungan masyarakat tempat mereka tinggal. Kemudian regulasi yang berarti tingkat peraturan yang berlaku di masyarakat. Ketidakseimbangan dalam hubungan antara diri dan masyarakat dapat menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri. Hubungan antara individu dengan masyarakat menjadi suatu penekanan di dalam tulisan Emile Durkheim mengenai penyebab dan faktor sehingga seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
Di dalam buku yang ditulis oleh Emile Durkheim yang berjudul suicide ini terdapat pembagian klasifikasi tindakan bunuh diri, Emile Durkheim membagi  ke dalam empat jenis bunuh diri. Pertama adalah bunuh diri egoistik, yang kedua adalah bunuh diri alturistik, yang ketiga adalah bunuh diri anomik dan yang keempat adalah bunuh diri fatalistik. Jenis bunuh diri yang diakibatkan karena integrasi yang tinggi adalah bunuh diri alturistik. Jenis bunuh diri yang diakibatkan karena integrasi yang rendah adalah bunuh diri egoistik. Jenis bunuh diri yang diakibatkan karena peraturan yang tinggi (regulasi tinggi )adalah bunuh diri fatalistik. Dan jenis bunuh diri yang diakibatkan karena peraturan yang rendah (regulasi rendah ) adalah bunuh diri anomik.
Empat faktor kategori pembagian jenis bunuh diri ini yang kemudian menjadi landasan faktor bunuh diri yang terjadi dalam suatu masyarakat. Integrasi adalah sejauh mana pengetahuan kolektif seperti keyakinan dan nilai-nilai yang dianut oleh anggota masyarakat kepada kelompok masyarakat di lingkungan diri manusia. Kebalikan dari integrasi sosial dalam suatu masyarakat dinamakan dengan isolasi. Regulasi atau peraturan adalah tingkat kendala eksternal yang ada dalam diri seseorang, sesuatu yang mengatur diri kita dari luar, yaitu norma-norma umum yang dianut oleh masyarakat. Setiap orang terkadang akan berada dibawah peraturan, namun terkadang masyarakat berada pada kondisi kurangnya peraturan dalam masyarakat.
Integrasi dalam masyarakat dan peraturan yang berada pada masyarakat adalah faktor besar yang harus diperhatikan dimana integrasi dan peraturan ini harus seimbang. Ketika terjadi integrasi yang sangat kuat atau terjadi integrasi yang sangat renggang akan menimbulkan terjadinya kasus bunuh diri. Begitupun dengan peraturan dalam masyarakat, ketika peraturan terlalu ketat atau tidak adanya peraturan akan menimbulkan terjadinya kasus bunuh diri dalam masyarakat. Maka disini diperlukan adanya keseimbangan sehingga tercapai suatu keadaan normal.
Jenis Bunuh Diri menurut Durkheim :
1.      Bunuh Diri Egoistik
Bunuh diri yang pertama adalah bunuh diri egoistik. Bunuh diri egoistik ini dapat terjadi karena hubungan integrasi yang rendah diantara kelompok sosial atau masyarakat dengan diri individu manusia.
“Suicide varies inversely with the degree of integration of the social groups of which the individual forms a part” (Durkheim, 1952 : 1967).[4]
Setiap individu manusia berada pada suatu kelompok sosial atau masyarakat tertentu, dan setiap individu manusia berinteraksi di dalam suatu kelompok sosial masyarakat. Maka bagi Durkheim, suatu tindakan individu manusia ditentukan atau sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakatnya. Individu manusia tidak bisa lepas dari sosial masyarakatnya. Sosial masyarakat yang memiliki sistem sangat berpengaruh terhadap tingkah laku diri individu manusia.
“But society cannot disintegrate without the individual simultanously detaching himself from social life, without his own goals becoming preponderant over those of the community, in a word without his personality tending to surmount the collective personality.” 
Hubungan antara individu manusia dengan masyarakat adalah sesuatu yang sudah melekat. Masyarakat tidak akan memisahkan diri dari individu manusia, kecuali jika diri individu manusia itu sendiri yang ingin melepaskan keterikatannya dengan kehidupan kelompok sosialnya. Disini individu manusia dianggap memiliki sifat egois, maka dalam jenis bunuh diri disini adalah bunuh
diri egoistik. Diri individu manusia memisahkan diri dengan masyarakat atau lingkungan tempat diri individu itu berada. Disini terjadi keregangan hubungan diantara individu dengan masyarakatnya.
“The more weakened the groups to which he belongs, the less he depends on them, the more he consequently depends only on himself and recognize no other rules of conduct than what are founded on his private interest.” (Durkheim, 1952 : 167).
 Semakin lemahnya keterikatan antara individu dengan masyarakat, maka akan semakin berkurangnya ketergantungan diri individu kepada masyarakat. Maka diri individu manusia akan lebih bergantung pada dirinya sendiri dan menyadari bahwa tidak akan ada peraturan yang akan mengatur tingkah lakunya untuk mencapai apa yang dirinya inginkan. Maka disini akan ada jarak yang sangat jauh diantara diri individu dengan masyarakat.
-          Contoh bunuh diri Egoistik I adalah individu yang tidak menikah memiliki tingkat bunuh diri yang lebih tinggi dari pada orang yang menikah.
-          Contoh bunuh diri Egoistik II adalah pergaulan anak sekolah yang merasa tidak punya teman dan ditinggalkan dari segala sesuatu dan lingkungan orang-orang sekitarnya. Seorang anak yang dianggap aneh oleh teman-temannya akan memiliki pergaulan yang sempit, dimana dia tidak ditemani oleh teman-temannya, mereka akan terisolasi, diganggu atau digoda oleh orang lain sehingga anak ini akan merasakan depresi dan kesedihan mendalam, merasa kehidupannya sudah tidak lagi berguna dan tidak dibutuhkan oleh lingkungannya.
-          Contoh bunuh diri Egoistik III dari bunuh diri egoistik ini adalah orang kaya yang bunuh diri karena depresi atas lingkungannya yang hanya memanfaatkan dirinya karena harta yang ia miliki.

2.      Bunuh diri Alturistic
                  Bunuh diri alturistik ini adalah kebalikan dari bunuh diri egoistik. Bunuh diri alturistik ini terjadi karena hubungan individu manusia dengan masyarakat sangat dekat . Individu manusia memiliki integrasi yang sangat tinggi dengan lingkungan sosialnya.
“If, as we have just seen, excessive individuation leads to suicide, insufficient individuation has the same effects. When man has become detached from society, he encounters less resistance to suicide in himself, and he does so likewise when social integration is too strong.”(Durkheim, 1952 : 175)
            Kita dapat melihat bahwa terlalu individualistis yang sangat berlebihan akan membawa kita pada suatu tindakan bunuh diri, seperti bunuh diri egoistik. Namun ternyata tidak memiliki sifat individual sama sekali juga akan mengalami hal yang sama. Seseorang yang memiliki kedekatan yang sangat besar dengan lingkungan masyarakat sekitarnya dan tidak memiliki sifat memikirkan dirinya sendiri akan membawa kita pada suatu tindakan bunuh diri juga. Hal ini terjadi ketika seseorang yang memiliki tanggung jawab yang lebih kepada kelompok masyarakatnya, ia akan memiliki pandangan bahwa dirinya adalah untuk orang lain, maka tidak jarang mereka akan merelakan dirinya untuk bunuh diri demi masyarakat. Bunuh diri alturistik ini terjadi ketika hubungan kedekatan individu dengan masyarakat terlalu kuat.
Bunuh diri alturistik terjadi ketika seseorang memiliki integrasi sosial yang sangat besar. Seseorang akan memiliki kesadaran kolektif yang terlalu kuat.Secara harfiah dapat dikatakan bahwa individu terpaksa melakukan bunuh diri untuk orang lain. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri dan lebih mementingkan orang lain atau masyarakat. Orang-orang yang bunuh diri alturistik ini menganggap bahwa kematian adalah pembebasan.
-          Contoh Bunuh Diri Altruistik I adalah bunuh diri massal dari pengikut pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana pada tahun 1978. Beberapa dari orang-orang yang melakukan tindakan bunuh diri mungkin merasa itu adalah tugas mereka untuk melakukan bunuh diri.
-          Contoh Bunuh Diri Altruistik II adalah polisi atau TNI yang mati ketika bertugas membela negara.
-          Contoh Bunuh Diri Altruistik III adalah bunuh diri yang terjadi pada seorang perempuan ketika suaminya meninggal dunia,ia akan rela dibunuh hidup-hidup karena dipercaya dialam sana seorang istri akan dibutuhkan suami untuk memenuhi kehidupannya.
                  Maka ketika seseorang yang melakukan tindakan bunuh diri pada kasus bunuh diri alturistik disini, hal itu bukan karena keinginan dirinya sendiri, tapi justru karena hal itu adalah tugas atau kewajibannya. Jika seseorang telah gagal untuk menjalani kewajibannya, ia akan merasa sangat malu seperti sebuah aib, ia akan merasa dihukum oleh sangsi agama atau kepercayaannya. Maka ketika ia gagal menjalani kewajibannya, ia lebih baik bunuh diri. Ia mengabdikan dan merelakan dirinya untuk orang lain atau masyarakat.
                  Seorang individu manusia melakukan tindakan membunuh dirinya sendiri benar-benar karena sebagai suatu bentuk kesenangan dan juga sebagai bentuk pengorbanannya untuk masyarakat. Seseorang akan lebih merasa dianggap ketika ia melakukan sesuatu untuk masyarakat, dan hal ini terjadi ketika ia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan lingkungan sosialnya. Seseorang akan melakukan pengorbanan yang sangat besar untuk masyarakat ketika terjadi hubungan yang sangat dekat antara individu dengan masyarakat, yaitu tindakan bunuh diri tanpa memikirkan dirinya sebagai individu.
3.   Bunuh Diri Anomic
Tipe bunuh diri yang selanjutnya ini disebut dengan bunuh diri anomik. Bunuh diri anomik ini terjadi ketika regulasi melemah atau ketika tidak adanya aturan yang berlaku di dalam suatu masyarakat.
Masyarakat bukan hanya sesuatu yang mengatur perasaan dan tindakan dengan kekuatan yang tidak setara, yaitu masyarakat yang posisinya lebih tinggi daripada individu. Tapi disana juga ada kekuatan yang mengontrol perilaku dan tindakan manusia di dalam suatu masayarakat yang bersifat memaksa, disebut dengan aturan. Maka disini ada hubungan antara peraturan regulatif dengan tindakan bunuh diri. Bunuh diri anomic ini muncul karena terjadi ketidakstabilan sosial akibat kerusakan standar dan nilai-nilai. Bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Bunuh diri ini terjadi ketika menempatkan orang dalam situasi norma lama tidak berlaku lagi sementara norma baru belum dikembangkan atau dapat dikatakan bahwa tidak adanya pegangan hidup.
-          Contoh Bunuh Diri Anomic I: Ketika terjadi Krisis ekonomi, faktor yang sangat berpengaruh dalam bunuh diri anomic ini. Contohnya adalah bunuh diri dalam situasi depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup sehingga para tenaga kerjanya kehilangan pekerjaan, dan mereka lepas dari pengaruh regulatif yang selama ini mereka rasakan.
-          Contoh Bunuh Diri Anomic II : Booming ekonomi yaitu bahwa kesuksesan yang datang secara tiba-tiba sehingga mengakibatkan individu menjauh dari struktur tradisional tempat mereka sebelumnya melekatkan diri. Orang-orang yang dibebaskan dari norma dasar masyarakat ini seperti tidak memiliki akar pegangan lagi, mereka akan menjadi budak nafsu mereka, dan sebagai hasilnya, menurut pandangan Durkheim, melakukan berbagai tindakan merusak, termasuk bunuh diri dalam jumlah yang lebih besar dari yang biasa.

Analisis Kritis Simpulan
Tentang teori yang dikemukakan Durkheim
Emile Durkheim mendefinisikan fakta sosial dalam teorinya ialah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan ekternal; atau bisa dikatakan bahwa fakta sosial adalah cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaanya terlepas dari manifesti-manifesti individual. Sehingga fakta sosial yang berada dalam masyarakat saat ini yang sesuai dengan definisi Durkheim misalnya seorang yang berkendara tanpa menggunakan helm, SIM, dan STNK apabila diketahui oleh polisi maka akan dikenakan denda atau sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Hal ini menandakan bahwa peraturan yang berlaku berada di luar individu, berlaku bagi setiap individu yang berarti universal di wilayah atau negara itu, serta memaksa individu tersebut untuk bertidak yang seharusnya.
Dalam pemikiran Durkheim berbicara mengenai fakta sosial akan menjalar  mengenai solidaritas sosial dalam karyanya The Division Of Labour yaitu secara mekanis dan organis. Kedua terminologi tersebut perlu dipahami dalam kerangka teori-teori Durkheim mengenai masyarakat. Bagi Durkheim, solidaritas banyak di pengaruhi oleh fakta sosial itu memperlihatkan adanya berbagai cara dan usaha manusia untuk membangun suatu komunitas, atau apa yang disebutnya masyarakat. Lewis Coser (1971) menjelaskan bahwa yang dimaksud Durkheim mengenai fakta sosial adalah suatu ciri atau sifat sosial yang kuat yang tidak harus dijelaskan pada level biologi dan psikologi, tetapi sebagai sesuatu yang berada secara khusus di dalam diri manusia.
Dalam Ritzer (2004) juga menjelaskan bahwa fakta sosial, dalam teori Durkheim itu bersifat memaksa karena mengandung struktur-struktur yang berskala luas misalnya undang-undang yang melembaga. Sesuai dengan pernyataan beliau bahwa : Suatu fakta sosial harus dikenal oleh kekuatan memaksanya yang bersifat eksternal yang memaksa atau mampu memaksa individu, dan hadirnya kekuatan ini dapat dikenal kalau tidak diikuti, baik dengan adanya suatu sanksi tertentu maupun sesuatu perlawanan yang diberikan kepada setiap usaha individu yang condong untuk melanggarnya. Namun orang dapat juga mengenalnya dengan tersebarnya fakta sosial itu dalam kumpulan itu, asalkan dia dapat memperhatikan bahwa eksistensi fakta sosial itu sendiri terlepas dari bentuk-bentuk individu yang diasumsikan dalam penyebaran tersebut (Emile Durkheim 1964).
            Dari semua fakta sosial yang ditunjuk dan dibincangkan oleh Durkheim, tak satupun yang sedemikian sentralnya seperti konsep solidaritas sosial. Dalam satu produknya, solidaritas sosial membawahi semua karya utamanya. Istilah-istilah yang berhubungan erat dengan persoalan solidaritas ialah integritas sosial dan kekompakan sosial. Singkatnya, solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang di anut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan ini lebih mendasar jika dibandingkan hubungan kontraktual yang dibuat atas kesepakatan rasional, karena hubungan-hubungan serupa itu mengandaikan sekurang-kurangya satu tangga konsensus terhadap prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar kontrak itu. Dengan demikian jelas bahwa yang dimaksud dengan fakta sosial adalah bukan sesuatu yang tampak seperti itu saja, melainkan motif-motif atau dorongan sosial yang menimbulkan sesuatu itu berlaku di dalam realitas sosial. Maka setiap fakta sosial yang baru membentuk satu nilai sedangkan dilain hal nilai lama akan terkikis bahkan menjadi hilang karena sudah adanya kesepakatan bersama dalam masyarakat tersebut.
Dari buku yang ditulis oleh Emile Durkheim selain mengungkapkan masalah fakta sosial dan pembagian kerja ia juga menjelaskan fenomena bunuh diri yang terjadi pada masyarakat. Suatu tindakan bunuh diri ini adalah suatu kejadian yang sangat empiris. Sebagai seorang yang menganut positivisme, Durkheim juga mengambil segala pengaruh dan penyebab bunuh diri dari hal-hal yang empiris dan logis menurut statistika dan juga kenyataan. Pada awalnya, Durkheim mencoba untuk menghubungkan suatu tindakan bunuh diri dengan berbagai kejadian seperti faktor-faktor diluar sosial, seperti faktor kejiwaan, alkohol, ras dan juga keturunan, faktor alam, dan yang terakhir adalah faktor imitasi. Semua hal diluar faktor sosial ini diuji oleh Durkheim sampai akhirnya ia tidak menemukan korelasi diantara bunuh diri dengan faktor-faktor diluar sosial ini. Durkheim akhirnya menyadari bahwa yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah faktor sosial, yaitu masyarakat. Kedekatan individu dengan masyarakat dan juga tingkat peraturan yang ada di dalam suatu masyarakat menjadi suatu faktor terjadinya suatu tindakan bunuh diri bagi Durkheim.



[1]  Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, jilid 1, terjemahan Robert M.Z.Lawang, PT Gramedia,
    hal   167-169

[2] Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, jilid 1, terjemahan Robert M.Z.Lawang, PT Gramedia,
    hal   174-181
[3] Emile Durkheim. The Rules of Sociological Method. Halaman 13
[4] E. Durkheim, Suicide, 1952 : 167