TEORI
SOSIOLOGI KLASIK
Dosen : Drs. Th. A. Gutama,
M.Si.
Disusun Oleh :
Widia Lestari
D0313080
SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
Emile
Durkheim
Topic :
1
Biografi Emile Durkheim
2
Kenyataan Fakta Sosial
3
Pembagian Kerja
4
Klasifikasi
Tindakan Bunuh Diri sebagai Fakta Sosial
Skema
Pembahasan
Riwayat
Hidup Durkheim
Durkheim, dilahirkan pada tahun 1858
di kota Epinal dekat Strasbourg, daerah Timur Laut Perancis. Ayahnya seorang
pendeta Yahudi. Durkheim, perkembangan pemikirannya sangat dipengaruhi oleh
lingkungan di luar keluarganya, meskipun ayahnya seorang pendeta Yahudi.
Mungkin pengaruh inilah yang menambah keterikatannya terhadap masalah agama,
walaupun para seniornya menginginkan ia menjadi seorang penganut katolik yang
taat. Mengapa, sebab sejak muda Durkheim telah menyatakan dirinya sebagai
seorang agnostik. Tentu, Sikap ini bersimpangan dan kontras dengan ayahnya dan
apa yang telah dipelajari dari guru- guru Katoliknya sejak muda. Pada akhirnya,
Durkheim, di dikenal sebagai “seorang atheis” yang kuat dan selalu bersifat
agnostic , iaitu “tidak pernah mempersoalkan kebenaran keyakinan masyarakat
yang sedang ditelitinya” (Hujair sanaky. 2005). Ketajaman pemikirannya
kadang-kadang dianggap aneh oleh lingkungan kampus, ia dianggap gila oleh
mahasiswanya karna berkontemplasi atau dianggap “nyeleneh” dalam proses pengajaran.
Pada usia 21 tahun, jalur pendidikan Durkheim di sekolah Ecole Normale
Superieure di Paris dan mengambil studi sejarah dan falsafah.
Pada awalnya, Durkheim tidak suka dengan suasana pendidikan
yang kaku. Keadaan seperti ini selalu membuat suasana tidak menyenangkan.
Durkheim, setelah menyelesaikan studinya, mengajar falsafah di beberapa sekolah
yang ada di Paris. Pada tahun 1885-1886, Durkheim, migrasi ke Jerman untuk
mempelajari psikologi kepada Wilhelm Wundt. Pada tahun 1887, Durkheim diangkat sebagai
Profesor Sosiologi di Universitas Bordeaux yang tentu memberinya posisi baru
bagi ilmuan sosial terutama dalam penelitian sosialnya. Kemudian, Durkheim
menetap di Jeman sampai tahun 1902 dan selama lima belas tahun di Bordeaux,
Durkheim telah menghasilkan tiga karya besar yang diterbitkan dalam bentuk
buku, yaitu: The Division of Labor in Society (1893), The Rulesof Sociological
Method (1895) dan Suicide: a Study
inSosiology (1897). Pada saat yang sama pula, Durkheim dan beberapa sarjana
lainnya bergabung untuk menerbitkan L’Annee Sociologique, iaitu sebuah jurnal
memuat artikel-artikel sosial yang kemudian terkenal di seluruh dunia (Peter,
2003).
Ia
diangkat Profesor Sosiologi dan Pendidikan di Universitas Sorbonne, Paris pada
tahun 1902. Perhatian dan minat Durkheim terhadap agama terhadap kehidupan
sosial dalam membentuk moralitas, diwujudkan dalam sebuah karyanya yang
bertajuk Les Formes elementaires de
lavie relegieuse : Le systeme totemique en Australie (1912). Buku ini diterjemahkan dalam bahasa
Inggris oleh Joseph Ward Swain menjadi The Elementary Forms of the Religious
Life (1915) dasar yang membentuk semua agama. Kemudian
kesehatannya mulai menurun pada tahun 1916, karna anak satu-satunya terbunuh
dalam kampanye militer di Siberia, sehingga membuatnya terserang penyakit
stroke dan dalam usia 59 tahun tepatnya pada tahun
1917,
Durkheim meninggal dunia. Pengaruh-pengaruh penting terhadap intelektual
Durkheim datang dari tradisi-tradisi intelektual yang jelas mengandung
unsur-unsur Perancis. Tafsiran-tafsiran yang saling mengisi dari Sanit Simon
dan Comte mengenai kemunduran feodalisme dan munculnya bentuk masyarakat modern
merupakan landasan utama semua karya Durkheim, sehingga memang sesuai, bila
dikatakan bahwa tema utama karya Durkheim semasa hidup berkaitan dengan usaha
mendamaikan konsep Comte mengenai tahapan ‘positif’ dari masyarakat dengan
peragaan Saint Simon yang sebagian beraneka ragam tentang ciri-ciri khas dari
‘individualisme’ (Anthony Giddens. 1986).
Sejal awal karir mengajar, Durkheim bertekad untuk
menekankan pengajaran praktis ilmiah serta moral daripada pendekatan falsafah
tradisional yang menurut dia tidak relevan dengan masalah sosial dan moral yang
terjadi di dunia ini. Walaupun yakin akan nilai sosiolog
dalam
membahas masalah-masalah moral dan sosial, sebagai seorang sarjana, Durkheim
sangat kuat komitmennya untuk mengambil sikap obyektif dalam analisanya yang
sangat teguh atas bersandarkan fakta. Durkheim seringkali dianggap sebagai
seorang ahli politik yang konservatif dan pengaruh beliau dalam Sosiologi juga
dianggap konservatif. Ianya karena beliau jarang melibatkan diri dalam politik
secara langsung. Pada masa hidup beliau, dianggap sebagai seorang liberal dan
terlibat secara aktif terutama dalam usaha untuk membantu Alfred Dreyfus yang
merupakan seorang kapten tentara yang telah dihukum karena dituduh membelot.
Menurut Farrel (1997) dalam Ritzer dan Goodman (2003) pada masa itu, ramai yang
menganggap kasus tersebut sebagai anti-Semitic. Durkheim merasa sangat kecewa dengan
kasus Dreyfus terutamanya
anti-Semitism tetapi beliau tidak
menanggapnya sebagai satu isu rasisme tetapi beliau melihat peristiwa tersebut
sebagai satu simptom penyakit (patalogi) moral masyarakat Perancis secara
umumnya.[1]
Emile Durkheim: Mendirikan Sosiologi sebagai suatu Ilmu
tentang Integrasi Sosial
1.
Fakta sosial
Asumsi umum yang paling fundamental yang
mendasari pendekatan Durkheim terhadap sosiologi adalah bahwa fakta sosial itu
riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari
perilaku psikologis, biologis, atau karakteristik individu lain-lainnya. Karena
gejala sosial adalah faktayang riil, gejala-gejala itu dapat dengan
metoda-metoda empiric , yang memungkinkan satu ilmu sejati tentang masyarakat
dapat dikembangkan. Asumsi ini dijelaskan bahwa sosiologi suatu ilmu yang jelas
disaat sekarang. Namun pada masa Durkeim belum ada bidang atau metodologi dalam
sosiologi yang mantap.
Tekanan
Durkheim pada kenyataan gejala sosial yang objektif itu bertentangan tidak
hanya dengan individualism yang berlebih-lebihan tetapi dengan mengunakan ahli
teori yang pendekatannya terlampau spekulatif dan filosofis. Mungkin salah satu
kecaman-kecaman terhadap pendekatan ilmiah objektif sudah menjadi sedemikian
menariknya adalah bahwa pendekatan ini kelihatannya mengandung satu posisi
determistik yang membatasi kebebasan individu dalam mengadakan pilihan-pilihan.
[2]
Fakta
sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku
pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga dikatakan
bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu
masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi
individual
[3]
Hal itu
menunjukkan bahwa Durkheim memberikan definisi agar sosiologi terpisah dari
ilmu filsafat dan psikologi. Durkheim berpendapat bahwa fakta sosial tidak bisa
direduksi kepada individu, namun mesti di pelajari sebagai realitas mereka.
Durkheim menyebut fakta sosial dengan istilah latin sui generis,
yang berarti “unik”. Durkheim menggunakan istilah ini untuk menjelaskan bahwa
fakta sosial memiliki karakter unik yang tidak bisa direduksi menjadi sebatas
kesadaran individual. Jika fakta sosial dianggap bisa dijelaskan dengan merujuk
pada individu, maka sosiologi akan tereduksi menjadi psikologi.
Durkheim
sendiri memberikan beberapa contoh tentang fakta sosial , termasuk aturan
legal, beban moral, dan kesepakatan sosial. Dia juga memasukan bahasa sebagai
fakta sosial, dan menjadikannya contoh yang paling mudah dipahami. Pertama
karenakan bahasa adalah “sesuatu” yang mesti dipelajari secara empiris. Kedua
bahasa adalah sesuatu yang berada di luar individu. Meskipun individu
menggunakan bahasa, namun bahasa tidak dapat didefinisikan atau diciptakan oleh
individu. Ketiga, bahasa memaksa individu. Bahasa dapat membuat sesuatu itu
sulit dikatakan. Terakhir, perubahan dalam bahasa dapat dipelajari dengan fakta
sosial lain dan tidak bisa hanya keinginan individu saja.
Sebagian sosiolog berpendapat bahwa Durhkeim
terlalu mengambil posisi yang ekstrem dalam hal ini. sebab ia terlalu membatasi
sosiologi hanya pada fakta sosial saja. Padahal ada banyak cabang-cabang dalam
sosiologi.
a.
Fakta Sosial Material
dan Nonmaterial
Durkheim membedakan dua tipe ranah
fakta sosial material dan non material. Fakta sosial material seperti
gaya arsitektur bentuk teknologi, dan hukum dan perundang-undangan, relatif
mudah dipahami karena keduanya bisa diamati secara langsung. Lebih penting
lagi, fakta sosial material tersebut sering kali mengekspresikan kekuatan moral
yang lebih besar dan kuat yang sama-sama berrada diluar individu dan memaksa
mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta sosial nin material.
Studi
Durkheim yang paling penting dan inti dari sosiologi terletak pada studi fakta
sosial nonmaterial. Durkheim mengungkapkan : “tidak semua kesadaran sosial
mencapai ... eksternalisasi dan materialisasi” (1897/1951: 315). Apa yang saat
ini disebut norma dan nilai, atau budaya oleh sosiolog secara umum (Alexander,
1988c) adalah contoh yang tepat untuk apa yang disebut Durkheim dengan fakta
sosial nonmaterial. Durkheim mengakui bahwa fakta sosial nn material memiliki
batasan tertentu, ia ada dalam individu. Akan tetapi dia yakin bahwa ketika
orang memulai berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi
hukumnya sendiri Dalam karya yang sama durkheim menulis: pertama, bahwa
“hal-hal yang bersifat sosial hanya bisa teraktualisasi melalui manusia; mereka
adalah produk aktivitas manusia” dan kedua Masyarakat bukan hanya semata-mata
kumpulan sejumlah individu.masyarakat akan hanya bisa dipahami dengan interaksi
bukan individu. Interaksi nonmaterial juga memiliki tingkatan-tingkatan
realitasnya sendiri. Inilah yang disebut “realisme relasional” (Alpert, 1939).
Durkheim
melihat fakta sosial berada di sepanjang kontinum hal-hal yang material.
Durkheim menyebut ini dengan fakta morfologis, dan semua itu termasuk hal yang
paling penting dalam buku pertamanya, The Division of Labor.
Jenis-jenis
Fakta Sosial Nonmaterial
a.
Moralitas.
Persperktif durkheim mengenai moralitas: pertama, Durkheim yakin bahwa
moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas bisa dipelajari
secara empiris, karena ia berada diluar individu, ia memaksa individu, dan bisa
dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain. Kedua, Durkheim dianggap sebagai
sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya pada kesehatan
moral kesehatan moral masyarakat modern.
Dalam pandangan Durkheim, orang selalu terancam kehilangan ikatan moral, dan
hal ini dinamakan “patologi”. hal tersebut penting bagi Durkheim karena tanpa
itu individu akan diperbudak oleh nafsu yang tidak pernah puas. Seseorang akan
didorong oleh nafsu mereka ke dalam kegilaan untuk mencari kepuasan namun
setiap kepuasan akan menuntut lebih dan lebih. Jika masyarakat tidak membatasi
kita maka kita akan menjadi budak kesenagan yang selalu meminta lebih. Sehingga
Durkheim memegang pandangan bahwa individu membutuhkan moralitas dan kontrol
dari luar untuk bebas. Pandangan hasrat yang tidak pernah puas ini ada pada
setiap manusia adalah inti dari sosiologi Durkheim.
b.
Kesadaran
kolektif.
Durkheim mencoba mewujudkan perhatiannya pada moralitas dengan berbagai macam
cara dan konsep. Usaha awalnya untuk menaangani persoalan ini adalah dengan
mengembangkan ide tentang kesadaran kolektif. Durkheim mendefinisikan kesadaran
kolektif sebagai berikut: seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang
kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang
punya kehidupan sendiri, kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau
kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular,
kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran partikular.
Dari hal itu jelas bahwa Durkheim berpendapat kesadaran kolektif terdapat dalam
kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut “keseluruhan” kepercayaan dan
sentimen bersama. Hal yang lain bahwa kesadaran kolektif sebagai sesuatu yang
terlepas dari dan mampu menciptakan fakta sosial. Hal terakhir dari pendapatnya
bahwa kesadaran kolektif baru bisa “terwujud’ melalui kesadaran-kesadaran indivisual.
Duekheim menggunakan konsep yang sangat terbuka dan tidak tetap untuk
menyatakan bahwa masyarakat “primitif” memiliki kesadaran kolektif yang kuat
yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama lebih daripada masyarakat
modern.
c.
Representasi
Kolektif
Kesadaran kolektif tak dapat dipelajari secara langsung karena sesuatu yang
luas dan gagasan yang tidak memiliki bentuk yang tetap. Sehingga perlu didekati
dengan relasi fakta sosial material. Contoh dari representasi kolektif ialah
simbol agama, mitos, dan legenda populer. Semua yang tersebut itu adalah
cara-cara dimana masyarakat merefleksikan dirinya.
Representasi kolektif tidak dapat direduksi kepada individu-individu karena ia
muncul dari interaksi sosial dan hanya dapat dipelajari secara langsung karena
cenderung berhubungan dengan simbol material seperti isyarat, ikon, dan gambar
atau praktek seperti ritual.
Contoh dari representasi ialah mengenai perubahan yang
dialami Abraham Lincoln dalam menanggapi fakta-fakta sosial lain. Ia mengalami
kejayaan yang memuncak dan ditahun lain ia memperlihatkan kemerosotan
martabatnya.
d.
Arus sosial
Sebagian besar fakta sosial yang dirujuk emile Drukheim
sering diasosiasikan dengan organisasi sosial. Namun dia menjelaskan bahwa
fakta sosial tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas”. Durkheim
menyebutnya arus sosial. Dia mencontohkan dengan “luapan semangat, amarah, dan
rasa kasihan”. Fakta-fakta sosial nonmaterial bahkan bisa memengaruhi institusi
yang paling kuat sekalipun. Hal ini dicontohkan pada konser rock yang terjadi
di Erropa timur. Konser rock merupakan tempat muncul dan berseminya standar
buadaya, fashion. Dan gejala perilaku yang lepas kntrol partai. Dengan kata
lain kepemimpinan politik takut pada konser rock karena berpotensi menekan
perasaa individu dari alienasi menjadi motivasi keterasingan sebagai
fakta sosial.
e.
Pikiran
kelompok
Arus sosial dapat dilihat sebagai serangkaian makna yang disepakati dan
dimiliki bersama oleh seluruh anggota kelompok. Karena itu arus sosial tidak
bisa dijelaskan berdasarkan suatu pikiran individual. Arus sosial juga tidak
bisa dijelaskan secara intersubjektif yaitu berdasarkan interaksi antar
individu. Arus sosial hanya akan tampak pada level interaksi bukan individu.
Kenyataannya ada kesamaan yang kuat antara teori fakta sosial dari
Durkheim dengan teori mutakhir tentang hubungan otak dengan pikiran individu.
Keduanya sama-sama menggunakan gagasan bahwa sistem yang kompleks akan terus
berubahdan menunjukkan ciri-ciri baru.
Durkheim juga
memiliki pemahaman modern tentang fakta sosial nonmaterial yang mengandung
norma, nilai, budaya, dan berbagai fenomena psikologis sosial bersama.
2.
Pembagian Kerja
Dari semua fakta sosial yang ditunjuk dan diduskusikan
oleh Durkheim, tak satu yang sedemikian sentralnya seperti konsep solidaritas
sosial. Dalam satu atau lain bentuk, solidaritas sosial membawai semua karya
utamanya. Istilah-istilah yang berhubungan erat dengan itu misalnya integrasi
sosial dan kekompakan sosial. Singkatnya, solidaritas menunjuk pada satu
keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan
moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional
bersama. Ikatan ini lebiih mendasar dari hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan
rasional, karena hubungan-hubungan serupa itu mengandaikan sekurang-kurangnya
satu tingkat terhadap prinsip moral yang menjadi dasar kontrak itu. Pokok ini sering
dikemukakan oleh Durkheim dalam serangannya yang terus-menerus terhadap
Spenser, Rousseau, dan lain-lain dan berusaha menjelaskan asal mula keadaan
menurut persetujuan kontraktual yang dirembuk individu dengan kepentingan
pribadi mereka selanjutnya.
1.
Solidaritas
Mekanis
Memudarnya
Solidaritas Mekanis Durkheim menggunakan istilah solidaritas mekanis untuk
menganalisa masyarakat keseluruhannya. Solidaritas mekanis lebih menekankan
pada sesuatu kesadaran kolektif bersama (collective consciousness),yang
menyandarkan pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata ada
pada warga masyarakat yang sama. Solidaritas mekanis merupakan sesuatu yang
bergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut
kepercayaan dan pola norma yang sama pula. Oleh karena itu sifat individualitas
tidak berkembang, individual ini terus- menerus akan dilumpuhkan oleh tekanan
yang besar sekali untuk konformitas. Individu tersebut tidak harus mengalami
atau menjalani satu tekanan yang melumpuhkan, karena kesadaran akan persoalan
hal yang lain mungkin juga tidak berkembang. Inilah yang menjadiakar memudarnya
atau deintegrasi nilai pada solidaritas mekanis.
Pertama, perlu diketahui bahwa nilai
barang bersifat ekonomis semakin lama nilainya akan menyusut. Kedua, kesadaran
kolektif sebenarnya tidak stagnan atau tetap, melainkan bergerak liar dalam
setiap tindakan masyarakat. Kemudian indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanis adalah ruang lingkup dan
kerasnya nilai-nilai yang bersifat menekan (Durkheim. 1964) (represif).
Nilai-nilai ini men-justifikasi setiap prilaku sebagai sesuatu yang jahat,
mengancam atau melanggar kesadaran kolektif yang kuat tersebut. Hukuman pada
pelaku kejahatan memperlihatkan pelanggaran moral dari kelompok tersebut
melawan ancaman atau penyimpangan yang demikian tersebut, karena mereka dipandang
sudah merusakkan keteraturan sosial. Hukuman tidak harus mencerminkan pertimbangan
rasional yang mendalam mengenai jumlah kerugian secara objektif yang memojokkan
masyarakat itu, juga tidak merupakan pertimbangan yang diberikan untuk
menyesuaikan hukuman itu dengan kejahatannya, sebaliknya ganjaran itu
menggambarkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul. Sebenarnya tidak terlalu
banyak sifat orang yang menyimpang atau tindakan kejahatannya seperti oleh
penolakan terhadap kesadaran kolektif yang diperlihatkannya, tetapi perlu diketahui
suatu sifat kejahatan muncul dari umpan balik nilai-nilai masyarakat. Yang
penting dari solidaritas mekanis adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu
tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen dan sebagainya.
Homogenitas ini hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat minim (Doyle Paul
Johnson.1986).
2.
Solidaritas
Organis
Berlawanan
dengan solidaritas mekanis, solidaritas organis muncul karena pembagian kerja
yang bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan
yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil
dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan
juga menggalakkan bertambahnya perbedaan pada kalangan individu. Munculnya
perbedaan-perbedaan pada kalangan individu ini merombak kesadaran kolektif itu,
yang pada gilirannya menjadi kurang penting lagi sebagai dasar untuk
keteraturan sosial dibandingkan dengan saling ketergantungan fungsional yang bertambah
antara individu-individu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih
otonom sifatnya. Seperti yang dinyatakan Durkheim bahwa “itulah pembagian kerja
yang terus saja mengambil peran yang tadinya diisi oleh kesadaran kolektif”.
Durkheim
mempertahankan bahwa kuatnya solidaritas organis itu ditandai oleh pentingnya
undang-undang yang bersifat memperbaiki, menyehatkan maupun yang bersifat memulihkan
(restitutif) daripada yang bersifat represif. Tujuan dari kedua bentuk
undang-undang tersebut sangat berbeda. Undang-undang represif lebih mengungkapkan
kemarahan kolektif yang dirasakan kuat sedangkan undang-undang restitutif
berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang
kompleks antara berbagai individu yang berspesialisasi atau kelompok-kelompok
dalam masyarakat. Oleh karena itu, sifat ganjaran-ganjaran yang diberikan
kepada seseorang pelaku kejahatan berbeda dalam kedua undang-undang itu.
Mengenai tipe sanksi yang bersifat restitutif Durkheim mengatakan “bukan
bersifat balas dendam, melainkan hanya sekedar menyehatkan keadaan”.
Terlaksananya undang-undang represif sebenarnya bukan memperkuat keadaan karena
sudah adanya investasi nilai tetapi represif sedikit demi sedikit akan menuju
kepada undang-undang restitutif.
Dalam
sistem organis, kemarahan kolektif yang timbul karena prilaku menyimpang
menjadi kecil kemungkinannya, karena kesadaran kolektif itu tidak begitu kuat.
Sebagai hasilnya, hukuman lebih bersifat rasional, disesuaikan dengan rusaknya
pelanggaran dan bermaksud untuk memulihkan atau melindungi hak-hak dari pihak
yang dirugikan atau menjamin bertahannya kaedah ketergantungan yang kompleks
tersebut dari solidaritas sosial. Pola restitutif ini jelas terlihat dalam undang-undang
kepemilikan, undang-undang sewa, undang-undang perdagangan, peraturan dan procedural
administrasinya.
Solidaritas
Mekanik
|
Solidaritas
organik
|
1.
Pembagian
kerja rendah
2.
Kesadaran
kolektif kuat
3.
Hukum
represif dominan
4.
Individualitas
rendah
5.
Consensus
terhadap pola-pola normatif itu penting
6.
Keterlibatan
komunitas menghukum orang yang menyimpang
7.
Secara
relative saling ketergantungan itu rendah
8.
Bersifat
primitive atau perdesaan
|
1.
Pembagian kerja tinggi
2.
Kesadaran kolektif lemah
3.
Hukum restitutif dominan
4.
Individualias tinggi
5.
Consensus pada nilai abstrak dan umum itu penting
6.
Badan-badan control sosial yang menghukum orang yang
menyimpang
7.
Saling ketergantungan tinggi
8.
Bersifat industrial perkotaan
|
Sumber : Doyle paul J, 1981: 188
3. Klasifikasi Tindakan
Bunuh Diri sebagai Fakta Sosial
Sumber :
https://www.google.com/search?q=foto+emile+durkheim&client
Menurut
Emile Durkheim, bunuh diri adalah fenomena sosial. Penyebab utama bunuh diri
ini adalah faktor sosial yaitu karena runtuhnya hubungan sosial atau
kebalikannya, keterikatan yang kuat dari hubungan sosial. Hubungan sosial ini
seringkali disebut dengan integrasi manusia terhadap lingkungan masyarakat
tempat mereka tinggal. Kemudian regulasi yang berarti tingkat peraturan yang
berlaku di masyarakat. Ketidakseimbangan dalam hubungan antara diri dan
masyarakat dapat menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri. Hubungan antara
individu dengan masyarakat menjadi suatu penekanan di dalam tulisan Emile
Durkheim mengenai penyebab dan faktor sehingga seseorang melakukan tindakan
bunuh diri.
Di
dalam buku yang ditulis oleh Emile Durkheim yang berjudul suicide ini terdapat
pembagian klasifikasi tindakan bunuh diri, Emile Durkheim membagi ke dalam empat jenis bunuh diri. Pertama
adalah bunuh diri egoistik, yang kedua adalah bunuh diri alturistik, yang
ketiga adalah bunuh diri anomik dan yang keempat adalah bunuh diri fatalistik. Jenis bunuh diri yang diakibatkan karena integrasi yang tinggi adalah bunuh diri alturistik. Jenis bunuh
diri yang diakibatkan karena integrasi yang rendah adalah
bunuh diri egoistik. Jenis bunuh diri yang diakibatkan karena peraturan
yang tinggi (regulasi tinggi )adalah bunuh diri fatalistik. Dan jenis
bunuh diri yang diakibatkan karena peraturan yang rendah (regulasi rendah ) adalah
bunuh diri anomik.
Empat
faktor kategori pembagian jenis bunuh diri ini yang kemudian menjadi landasan
faktor bunuh diri yang terjadi dalam suatu masyarakat. Integrasi adalah sejauh
mana pengetahuan kolektif seperti keyakinan dan nilai-nilai yang dianut oleh
anggota masyarakat kepada kelompok masyarakat di lingkungan diri manusia.
Kebalikan dari integrasi sosial dalam suatu masyarakat dinamakan dengan
isolasi. Regulasi atau peraturan adalah tingkat kendala eksternal yang ada
dalam diri seseorang, sesuatu yang mengatur diri kita dari luar, yaitu
norma-norma umum yang dianut oleh masyarakat. Setiap orang terkadang akan
berada dibawah peraturan, namun terkadang masyarakat berada pada kondisi
kurangnya peraturan dalam masyarakat.
Integrasi
dalam masyarakat dan peraturan yang berada pada masyarakat adalah faktor besar
yang harus diperhatikan dimana integrasi dan peraturan ini harus seimbang.
Ketika terjadi integrasi yang sangat kuat atau terjadi integrasi yang sangat
renggang akan menimbulkan terjadinya kasus bunuh diri. Begitupun dengan
peraturan dalam masyarakat, ketika peraturan terlalu ketat atau tidak adanya peraturan
akan menimbulkan terjadinya kasus bunuh diri dalam masyarakat. Maka disini
diperlukan adanya keseimbangan sehingga tercapai suatu keadaan normal.
Jenis Bunuh Diri menurut Durkheim :
1.
Bunuh
Diri Egoistik
Bunuh diri yang pertama
adalah bunuh diri egoistik. Bunuh diri egoistik ini dapat terjadi karena
hubungan integrasi yang rendah diantara kelompok sosial atau masyarakat dengan
diri individu manusia.
“Suicide
varies inversely with the degree of integration of the social groups of which
the individual forms a part” (Durkheim, 1952 : 1967).[4]
Setiap individu manusia berada pada suatu
kelompok sosial atau masyarakat tertentu, dan setiap individu manusia
berinteraksi di dalam suatu kelompok sosial masyarakat. Maka bagi Durkheim, suatu tindakan individu manusia ditentukan atau sangat dipengaruhi oleh
lingkungan masyarakatnya. Individu manusia tidak bisa lepas dari sosial
masyarakatnya. Sosial masyarakat yang memiliki sistem sangat berpengaruh
terhadap tingkah laku diri individu manusia.
“But
society cannot disintegrate without the individual simultanously detaching
himself from social life, without his own goals becoming preponderant over
those of the community, in a word without his personality tending to surmount
the collective personality.”
Hubungan antara individu manusia dengan
masyarakat adalah sesuatu yang sudah melekat. Masyarakat tidak akan memisahkan
diri dari individu manusia, kecuali jika diri individu manusia itu sendiri yang
ingin melepaskan keterikatannya dengan kehidupan kelompok sosialnya. Disini
individu manusia dianggap memiliki sifat egois, maka dalam jenis bunuh diri
disini adalah bunuh
diri egoistik. Diri individu manusia
memisahkan diri dengan masyarakat atau lingkungan tempat diri individu itu
berada. Disini terjadi keregangan hubungan diantara individu dengan
masyarakatnya.
“The
more weakened the groups to which he belongs, the less he depends on them, the
more he consequently depends only on himself and recognize no other rules of
conduct than what are founded on his private interest.” (Durkheim, 1952 : 167).
Semakin lemahnya keterikatan antara individu
dengan masyarakat, maka akan semakin berkurangnya ketergantungan diri individu
kepada masyarakat. Maka diri individu manusia akan lebih bergantung pada
dirinya sendiri dan menyadari bahwa tidak akan ada peraturan yang akan mengatur
tingkah lakunya untuk mencapai apa yang dirinya inginkan. Maka disini akan ada
jarak yang sangat jauh diantara diri individu dengan masyarakat.
-
Contoh
bunuh diri Egoistik I adalah individu yang tidak menikah memiliki
tingkat bunuh diri yang lebih tinggi dari pada orang yang menikah.
-
Contoh
bunuh diri Egoistik II adalah pergaulan anak sekolah yang merasa
tidak punya teman dan ditinggalkan dari segala sesuatu dan lingkungan orang-orang
sekitarnya. Seorang anak yang dianggap aneh oleh teman-temannya akan memiliki
pergaulan yang sempit, dimana dia tidak ditemani oleh teman-temannya, mereka
akan terisolasi, diganggu atau digoda oleh orang lain sehingga anak ini akan
merasakan depresi dan kesedihan mendalam, merasa kehidupannya sudah tidak lagi
berguna dan tidak dibutuhkan oleh lingkungannya.
-
Contoh
bunuh diri Egoistik III dari bunuh diri egoistik ini adalah orang
kaya yang bunuh diri karena depresi atas lingkungannya yang hanya memanfaatkan
dirinya karena harta yang ia miliki.
2.
Bunuh
diri Alturistic
Bunuh
diri alturistik ini adalah kebalikan dari bunuh diri egoistik. Bunuh diri alturistik ini terjadi karena
hubungan individu manusia dengan masyarakat sangat dekat . Individu manusia
memiliki integrasi yang sangat tinggi dengan lingkungan sosialnya.
“If,
as we have just seen, excessive individuation leads to suicide, insufficient
individuation has the same effects. When man has become detached from society,
he encounters less resistance to suicide in himself, and he does so likewise
when social integration is too strong.”(Durkheim, 1952 : 175)
Kita
dapat melihat bahwa terlalu individualistis yang sangat berlebihan akan membawa
kita pada suatu tindakan bunuh diri, seperti bunuh diri egoistik. Namun
ternyata tidak memiliki sifat individual sama sekali juga akan mengalami hal
yang sama. Seseorang yang memiliki kedekatan yang sangat besar dengan
lingkungan masyarakat sekitarnya dan tidak memiliki sifat memikirkan dirinya
sendiri akan membawa kita pada suatu tindakan bunuh diri juga. Hal ini terjadi
ketika seseorang yang memiliki tanggung jawab yang lebih kepada kelompok masyarakatnya,
ia akan memiliki pandangan bahwa dirinya adalah untuk orang lain, maka tidak
jarang mereka akan merelakan dirinya untuk bunuh diri demi masyarakat. Bunuh
diri alturistik ini terjadi ketika hubungan kedekatan individu dengan
masyarakat terlalu kuat.
Bunuh diri alturistik terjadi ketika seseorang memiliki
integrasi sosial yang sangat besar. Seseorang akan memiliki kesadaran kolektif
yang terlalu kuat.Secara harfiah dapat dikatakan bahwa individu terpaksa
melakukan bunuh diri untuk orang lain. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri dan
lebih mementingkan orang lain atau masyarakat. Orang-orang yang bunuh diri alturistik ini menganggap bahwa kematian
adalah pembebasan.
-
Contoh
Bunuh Diri Altruistik I adalah bunuh diri massal dari pengikut
pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana pada tahun 1978. Beberapa dari
orang-orang yang melakukan tindakan bunuh diri mungkin merasa itu adalah tugas
mereka untuk melakukan bunuh diri.
-
Contoh
Bunuh Diri Altruistik II adalah polisi atau TNI yang mati ketika
bertugas membela negara.
-
Contoh
Bunuh Diri Altruistik III adalah bunuh diri yang terjadi pada seorang
perempuan ketika suaminya meninggal dunia,ia akan rela dibunuh hidup-hidup
karena dipercaya dialam sana seorang istri akan dibutuhkan suami untuk memenuhi
kehidupannya.
Maka ketika seseorang yang
melakukan tindakan bunuh diri pada kasus bunuh diri alturistik disini, hal itu
bukan karena keinginan dirinya sendiri, tapi justru karena hal itu adalah tugas
atau kewajibannya. Jika seseorang telah gagal untuk menjalani kewajibannya, ia
akan merasa sangat malu seperti sebuah aib, ia akan merasa dihukum oleh sangsi
agama atau kepercayaannya. Maka ketika ia gagal menjalani kewajibannya, ia
lebih baik bunuh diri. Ia mengabdikan dan merelakan dirinya untuk orang lain
atau masyarakat.
Seorang
individu manusia melakukan tindakan membunuh dirinya sendiri benar-benar karena
sebagai suatu bentuk kesenangan dan juga sebagai bentuk pengorbanannya untuk
masyarakat. Seseorang akan lebih merasa dianggap ketika ia melakukan sesuatu
untuk masyarakat, dan hal ini terjadi ketika ia memiliki hubungan yang sangat
dekat dengan lingkungan sosialnya. Seseorang akan melakukan pengorbanan yang
sangat besar untuk masyarakat ketika terjadi hubungan yang sangat dekat antara
individu dengan masyarakat, yaitu tindakan bunuh diri tanpa memikirkan dirinya
sebagai individu.
3.
Bunuh
Diri Anomic
Tipe bunuh diri yang
selanjutnya ini disebut dengan bunuh diri anomik. Bunuh diri anomik ini terjadi
ketika regulasi melemah atau ketika tidak adanya aturan yang berlaku di dalam
suatu masyarakat.
Masyarakat
bukan hanya sesuatu yang mengatur perasaan dan tindakan dengan kekuatan yang
tidak setara, yaitu masyarakat yang posisinya lebih tinggi daripada individu.
Tapi disana juga ada kekuatan yang mengontrol perilaku dan tindakan manusia di
dalam suatu masayarakat yang bersifat memaksa, disebut dengan aturan. Maka disini ada hubungan antara
peraturan regulatif dengan tindakan bunuh diri. Bunuh diri anomic ini muncul
karena terjadi ketidakstabilan sosial akibat kerusakan standar dan nilai-nilai.
Bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu.
Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena
lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras
yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Bunuh diri ini terjadi ketika
menempatkan orang dalam situasi norma lama tidak berlaku lagi sementara norma
baru belum dikembangkan atau dapat dikatakan bahwa tidak adanya pegangan hidup.
-
Contoh
Bunuh Diri Anomic I: Ketika terjadi Krisis ekonomi, faktor yang
sangat berpengaruh dalam bunuh diri anomic ini. Contohnya adalah bunuh diri
dalam situasi depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup sehingga para tenaga
kerjanya kehilangan pekerjaan, dan mereka lepas dari pengaruh regulatif yang
selama ini mereka rasakan.
-
Contoh
Bunuh Diri Anomic II : Booming ekonomi yaitu bahwa kesuksesan
yang datang secara tiba-tiba sehingga mengakibatkan individu menjauh dari
struktur tradisional tempat mereka sebelumnya melekatkan diri. Orang-orang yang
dibebaskan dari norma dasar masyarakat ini seperti tidak memiliki akar pegangan
lagi, mereka akan menjadi budak nafsu mereka, dan sebagai hasilnya, menurut
pandangan Durkheim, melakukan berbagai tindakan merusak, termasuk bunuh diri
dalam jumlah yang lebih besar dari yang biasa.
Analisis Kritis Simpulan
Tentang teori yang dikemukakan
Durkheim
Emile Durkheim mendefinisikan fakta sosial dalam teorinya
ialah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri
individu sebagai sebuah paksaan ekternal; atau bisa dikatakan bahwa fakta
sosial adalah cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat
yang sama keberadaanya terlepas dari manifesti-manifesti individual. Sehingga
fakta sosial yang berada dalam masyarakat saat ini yang sesuai dengan definisi
Durkheim misalnya seorang yang berkendara tanpa menggunakan helm, SIM, dan STNK
apabila diketahui oleh polisi maka akan dikenakan denda atau sanksi sesuai
peraturan yang berlaku. Hal ini menandakan bahwa peraturan yang berlaku berada
di luar individu, berlaku bagi setiap individu yang berarti universal di
wilayah atau negara itu, serta memaksa individu tersebut untuk bertidak yang
seharusnya.
Dalam pemikiran Durkheim berbicara
mengenai fakta sosial akan menjalar mengenai solidaritas
sosial dalam karyanya The Division
Of Labour yaitu
secara mekanis dan organis. Kedua
terminologi tersebut perlu dipahami dalam kerangka teori-teori Durkheim
mengenai masyarakat. Bagi Durkheim,
solidaritas banyak
di pengaruhi oleh fakta sosial itu memperlihatkan adanya berbagai cara dan usaha
manusia untuk membangun
suatu komunitas, atau apa yang disebutnya masyarakat. Lewis Coser (1971)
menjelaskan bahwa yang dimaksud Durkheim mengenai fakta sosial adalah suatu
ciri atau sifat sosial yang kuat yang tidak harus dijelaskan pada level biologi
dan psikologi, tetapi sebagai sesuatu yang berada secara khusus di dalam diri manusia.
Dalam Ritzer (2004) juga menjelaskan
bahwa fakta sosial, dalam teori Durkheim itu bersifat memaksa karena mengandung
struktur-struktur yang berskala luas misalnya undang-undang yang melembaga.
Sesuai dengan pernyataan beliau bahwa : Suatu fakta sosial harus dikenal oleh
kekuatan memaksanya yang bersifat eksternal yang
memaksa atau mampu memaksa individu,
dan hadirnya kekuatan ini dapat dikenal kalau tidak diikuti, baik dengan adanya
suatu sanksi tertentu maupun sesuatu perlawanan yang diberikan
kepada setiap usaha individu yang
condong untuk melanggarnya. Namun orang dapat juga
mengenalnya dengan tersebarnya fakta
sosial itu dalam kumpulan itu, asalkan dia dapat memperhatikan bahwa eksistensi
fakta sosial itu sendiri terlepas dari bentuk-bentuk individu yang diasumsikan
dalam penyebaran tersebut (Emile Durkheim 1964).
Dari
semua fakta sosial yang ditunjuk dan dibincangkan oleh Durkheim, tak satupun
yang sedemikian sentralnya seperti konsep solidaritas sosial. Dalam satu produknya,
solidaritas sosial membawahi semua karya utamanya. Istilah-istilah yang
berhubungan erat dengan persoalan solidaritas ialah integritas sosial dan kekompakan
sosial. Singkatnya, solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara
individu dan kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang
di anut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan ini
lebih mendasar jika dibandingkan hubungan kontraktual yang dibuat atas
kesepakatan rasional, karena hubungan-hubungan serupa itu mengandaikan
sekurang-kurangya satu tangga konsensus terhadap prinsip-prinsip moral yang
menjadi dasar kontrak itu. Dengan demikian jelas bahwa yang dimaksud dengan
fakta sosial adalah bukan sesuatu yang tampak seperti itu saja, melainkan
motif-motif atau dorongan sosial yang menimbulkan sesuatu itu berlaku di dalam
realitas sosial. Maka setiap fakta sosial yang baru membentuk satu nilai
sedangkan dilain hal nilai lama akan terkikis bahkan menjadi hilang karena sudah
adanya kesepakatan bersama dalam masyarakat tersebut.
Dari buku yang ditulis oleh
Emile Durkheim selain mengungkapkan masalah fakta sosial dan pembagian kerja ia
juga menjelaskan fenomena bunuh diri yang terjadi pada masyarakat. Suatu
tindakan bunuh diri ini adalah suatu kejadian yang sangat empiris. Sebagai
seorang yang menganut positivisme, Durkheim juga mengambil segala pengaruh dan
penyebab bunuh diri dari hal-hal yang empiris dan logis menurut statistika dan
juga kenyataan. Pada awalnya, Durkheim mencoba untuk menghubungkan suatu
tindakan bunuh diri dengan berbagai kejadian seperti faktor-faktor diluar
sosial, seperti faktor kejiwaan, alkohol,
ras dan juga keturunan, faktor alam, dan yang terakhir adalah faktor imitasi. Semua
hal diluar faktor sosial ini diuji oleh Durkheim sampai akhirnya ia tidak
menemukan korelasi diantara bunuh diri dengan faktor-faktor diluar sosial ini.
Durkheim akhirnya menyadari bahwa yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan
tindakan bunuh diri adalah faktor sosial, yaitu masyarakat. Kedekatan individu
dengan masyarakat dan juga tingkat peraturan yang ada di dalam suatu masyarakat
menjadi suatu faktor terjadinya suatu tindakan bunuh diri bagi Durkheim.
[1] Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik
dan Modern, jilid 1, terjemahan Robert M.Z.Lawang, PT Gramedia,
hal 167-169
[2]
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, jilid 1, terjemahan
Robert M.Z.Lawang, PT Gramedia,
hal 174-181
[3]
Emile Durkheim. The Rules of Sociological Method. Halaman 13
[4] E.
Durkheim, Suicide, 1952 :
167